Samudra berdiri di depan klinik miliknya. Klinik bernama Physiolab tersebut berada di kota Blitar. (Doc Pribadi)
Kesibukan Fisioterapis Persebaya

Tak Lagi Gelar Latihan Bareng, Samudra Fokus Buka Physiolab

Ketidakjelasan kompetisi memaksa stakeholder sepak bola Indonesia untuk beradaptasi. Pelatih, pemain, dokter tim hingga kit man dituntut untuk mencari kesibukan di luar rutinitas tim. Fisioterapis Persebaya, Anggara Dwi Samudra, adalah salah satu sosok yang mampu beradaptasi dengan baik. Ia mengisi kekosongan waktu dengan menimba ilmu dan mulai merintis usaha.

Saat awal pandemi menyerang, Samudra lebih sering menghabiskan waktunya dengan berlatih bersama pemain Persebaya. Koko Ari, Oktafianus Fernando hingga Makan Konate sering mengikuti latihan bersama yang ia adakan.

Namun sekarang mahasiswa S2 Magister Ilmu Kesehatan Olahraga Universitas Airlangga (Unair) tersebut tidak lagi menggelar latihan bersama. Ia memilih untuk pulang ke kampung halaman. Samudra mulai membuka klinik praktek fisioterapi di Blitar. Klinik tersebut ia beri mama Physiolab.

Bangunan fisik klinik tersebut baru saja rampung dibangun beberapa waktu lalu. Kini Samudra tengah menanti izin dari Dinas Kesehatan setempat guna melengkapi kebutuhan administrasi.

"Sekarang gak latihan lagi sama teman-teman. Lebih banyak di Blitar, karena mau merintis usaha kecil-kecilan," ungkap pria yang akrab disapa Sam tersebut.

"Saya buka klinik praktek di depan rumah di Blitar. Bangunannya baru selesai bulan lalu, sudah mengajukan izin Dinkes, tinggal nunggu suratnya. Doanya ya," sambungnya.

Selain sibuk mempersiapkan klinik praktek, rupanya Sam juga tidak berhenti menimba ilmu. Selama medio 2020 Samudra berhasil menyelesaikan kursus FIFA Diploma in Football Medicine. Pelatihan daring yang diselenggarakan oleh federasi tertinggi sepak bola dunia tersebut sudah diikutinya sejak 2018. Namun kesibukan tim membuat Samudra harus menunda kursus yang diikutinya.

"Jadi dulu itu mulainya pas 2018. Pas masih jadi fisio Persebaya u-19. Jamannya Koko, Ridho, Kemal dulu. Kenapa kok mendaftar, karena mikirnya mungkin bisa naikin value saya sendiri. Secara itu kan dapat sertifikat langsung dari FIFA. Waktu itu masih berandai-andai jika naik ke tim senior," ceritanya lantas terbahak.

Selain soal membagi waktu, rupanya Sam juga sempat terkendala soal bahasa. Karena kursus tersebut berstandar internasional maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris.

"Tapi waktu itu ternyata gak semulus yang dikira, banyak berat ke kerjaannya daripada ikutin course. Tahun 2019 itu saya juga lagi cari beasiswa LPDP buat S2. Apalagi yang paling sulit semua materi dan ujian pakai bahasa Inggris. Sempat puyeng saya," sambungnya.

Samudra mendapatkan banyak ilmu baru, setelah merampungkan kursus tersebut pada November tahun lalu. Menurutnya divisi medis dalam sepak bola di Indonesia masih tertinggal jauh dari di Eropa sana. Ia berharap bisa ikut membantu sepak bola Nusantara untuk mengejar ketertinggalan dengan terus mengembangkan ilmu dan kemampuannya.

"Dari course itu aku menyimpulkan kualitas tim medis di luar sana itu (di eropa dll) itu pasti selengkap dan sedetail itu mas. Mereka memang punya fasilitas, keahlian dan kompetensi," pungkasnya. (*)

 

BERITA LAINNYA