Kemarin lusa, Senin, 9 September 2024, persis 70 hari Persebaya Future Lab beroperasi. Momentum 70 hari ini menjadi monumental, sebab per Senin kemarin, Persebaya Future Lab resmi berpusat di Lapangan ABC Kompleks Gelora Bung Tomo. Inilah lapangan standar FIFA yang sebelumnya diandalkan dalam penyelenggaraan Piala Dunia U-17 pada 2023 lalu.
Kenapa saya menggaris bawahi urusan lapangan latihan, karena inilah tantangan utama Persebaya Future Lab. Saking peliknya, menurut saya layak untuk disebut kacau.
Sebagai departemen klub yang didapuk untuk mencetak pesepak bola masa depan, tentu lapangan latihan menjadi laboratorium penting sesungguhnya. Kenyataannya urusan lapangan ini selalu kacau.
Jamie Harnwell (CEO Football West) saat memberikan penjelasan kepada pemain elite youth Persebaya. (Persebaya)
Kami memulai program di Lapangan Stadion Kodam V/ Brawijaya. Meski keras dan berdebu, semangat juang anak muda Persebaya terus menggelora. Hanya pada perjalanannya, ketersediaan jam Stadion Kodam tak mampu memenuhi pertumbuhan Persebaya Future Lab yang memiliki lebih dari 6 kelompok latihan, Persebaya 2 sampai dengan Persebaya 7. Sebagaimana diketahui, Persebaya 1 adalah tim utama Persebaya yang berlaga di Liga 1.
Sebagai ganti, kami berlatih di Lapangan Arhanud Seruni. Walau, lagi-lagi keras dan berdebu, lapangan kembar di dalam kompleks militer ini terasa ”rumah” idaman. Sayang, kemesraan dengan Lapangan Arhanud Seruni harus terhenti. Lapangan harus digunakan untuk kebutuhan militer. Ya, dalam hidup terkadang ada hal yang lebih penting dari sepakbola. Apa boleh buat?
Kami pun pindah lagi ke lapangan Poltekpel. Di sinilah kekacauan itu memuncak. Setelah beberapa pekan, Persebaya Future Lab telah tumbuh melibatkan lebih dari 120 pemain dengan 9 kelompok latihan. Untuk mengakali keterbatasan jam, setiap sesi terpaksa harus melibatkan 3-4 kelompok secara bersamaan dalam 1 lapangan.
CEO Persebaya Azrul Ananda dan Kajasdam V/Brawijaya Letkol Inf Yudhi Rianto Ratu (tiga dari kanan) menyaksikan peserta Talent Audition di Stadion Kodam V Brawijaya. (Persebaya)
Kekacauan Lain
Urusan kekacauan, bukan cuma dalam hal lapangan. Administrasi juga kacau balau. Kami menemukan pemain muda Persebaya ternyata tak memiliki kontrak jangka panjang. Saat memulai program, ada banyak pemain lama yang tidak bersedia hadir.
Pendataan teknis juga kacau balau. Untuk sekedar data tinggi dan berat badan pun kami tak punya. Apalagi data tes yang lebih mutakhir, seperti VO2 Max atau Functional Movement.
Kondisi Klub Internal Persebaya setali tiga uang. Sebagai klub amatir, mereka kesulitan mengundang partisipasi. Brand Ke-Persebaya-an tampak belum dieksploitasi optimal. Padahal tentu semua tahu, minim partisipasi sama dengan minim income.
Operasi latihan mereka juga berlangsung maha kacau. Jam pulang sekolah terlalu larut dan fasilitas lapangan terbatas membuat kualitas latihan pas-pasan. Satu sesi latihan klub internal bisa diikuti oleh 60-100 pemain secara berbarengan di satu lapangan. Ramai tak efektif!
Pemain elith youth Persebaya Dirga Dwi dalam sesi latihan game di Lapangan B Gelora Bung Tomo Surabauya. (Persebaya)
Kacau itu Indah
Situasi ini berujung pada pertanyaan besar. Bagaimana mungkin ekosistem sepak bola Persebaya yang maha kacau ini bisa terus memproduksi pemain hebat? Jawabannya masihmisteri…
Tapi bahwa ekosistem Persebaya itu jempolan dalam memproduksi pemain hebat, buktinya nyata. Kalau kita melihat pertandingan Timnas Indonesia vs Australia tadi malam, starter non diaspora hanya ada dua. Rizky Ridho dan Marselino Ferdinan. Keduanya kita ketahui adalah produk Kompetisi Internal Persebaya.
Suatu sore, terjadi diskusi hangat di Persebaya Future Lab terkait program latihan. Kami mempersiapkan micro cycle mingguan yang fokus membangun sikap pemain untuk pressingintensif saat bertahan. Dibuatlah desain latihan dengan 6 gawang seperti di bawah ini.
Desain Latihan Pressing
"Ini adalah desain permainan yang kacau, agar tanpa sadar pemain lakukan pressing intensif!" ungkap kolega saya. Saya pun terdiam dan tersadar. "Aha, kekacauan adalah jawaban semuanya!"
Basis metodologi latihan Persebaya Future Lab selama ini memang adalah Chaos Theory. Sederhananya, Chaos Theory menyatakan bahwa berbagai ketidakteraturan dalam sistem kompleks (sepak bola) sebenarnya terdapat pola dasar dan interkoneksi yang konstan di dalamnya.
Turunan dari Chaos Theory ini adalah Butterfly Effect temuan Edward Lorenz, Ilmuwan Massachusetts Institute of Technology (MIT), kampus terbaik di dunia. Lorenz menemukan bahwa satu kepakan sayap kupu-kupu di Brazil ternyata bisa menghasilkan Tornado di Texas."Does the flap of a butterfly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas?" demikian judul risetilmiahnya. Ya, perubahan yang hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secaradrastis keseluruhan sistem pada jangka panjang.
Pada konteks belajar (sepak bola), menciptakan kekacauan akan merangsang pemain untuk menemukan berbagai solusi atas problem yang kompleks di masa mendatang.
Thomas Tuchel, pelatih Bayern Muenchen yang dulu pernah melatih Chelsea maupun PSG, adalah pelatih top penganut metodologi ini. Ia misalnya sering meminta timnya untuk berlatihdengan bola kecil untuk merangsang kemampuan kontrol bola. Atau memotong sudutl apangan, agar pemain bermain penetratif ke dalam.
Lapangan Latihan Dipotong ala Thomas Tuchel
Lapangan Latihan Dipotong ala Thomas Tuchel
Dalam sebuah interview di Aspire Academy, Tuchel berkhayal tentang apa yang ia lakukan bila dapat kembali ke awal karirnya sebagai pelatih tim usia muda. "Mungkin saya akan mematikan ac bus di perjalanan laga away atau meminta tim berlatih di lapangan lumpur tanpa sepatu," ujarnya serius. "Nyaman dalam berbagai kekacauan adalah kunci sukses," pungkasnya lagi.
Menciptakan Kekacauan Baru
Sama seperti metodologi latihan Persebaya Future Lab yang dibuat kacau untuk menaikkan efek belajar, maka ekosistem Persebaya yang kacau juga akan menaikkan efek ketangguhan para pemainnya. Inilah jawaban mengapa ekosistem Persebaya selalu mencetak pemain-pemain hebat. Jawaban mengapa anak muda Surabaya begitu kompetitif, berani tarung dan tidak mau kalah. Situasi kacau adalah guru mereka, lingkungan kacau adalah sekolah mereka.
Jadi kalau Tuchel ingin timnya berlatih di lapangan berlumpur, kita bersyukur Persebaya sudah melakukannya di lapangan yang berpindah-pindah yang keras dan berdebu. Kekacauan udah menjadi darah daging kami.
Lantas apa yang harus dilakukan Persebaya Future Lab? Alih-alih menertibkan situasi kacau ini, Persebaya Future Lab justru punya kewajiban untuk merawatnya. Singkatnya tugas kami mencakup dua hal.
Pertama, memproteksi dampak dari kekacauan. Persebaya Future Lab wajib memastikan kekacauan membuat pemain terjatuh kesakitan, tapi tidak mati (berhenti bersepak bola). Melainkan bangkit lebih kuat setelah jatuh. Ini perlu dilakukan dengan periodisasi kekacauan. Ada rumusan beban kekacauan yang berat ringannya dirancang di periode yang tepat untuk menjamin terjadinya kompensasi positif.
Kedua, Persebaya Future Lab harus memastikan terjadinya pengulangan tanpa pengulangan.Ya repetition without repetition. Kekacauan yang berulang sama pada suatu titik akan terprediksi dan menciptakan kenyamanan. Ini tidak boleh terjadi! Persebaya Future Lab perlu selalu melakukan inovasi dengan menciptakan kekacauan-kekacauan baru. Tentunya demi mengoptimalkan efek belajar bagi pemain.
Persebaya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan Pemkot Surabaya, Wali Kota Eri Cahyadi, beserta seluruh jajaran, khususnya Kadisbudporapar Hidayat Syah. Dukungan Pemkot Surabaya sehingga ratusan pesepak bola muda Persebaya Future Lab bisa berlatih di Lapangan ABC di Kompleks GBT membuat kami bisa meninggalkan kekacauan lapangan berdebu dan keras, untuk mencari kekacauan baru. Melakukan repetition without repetition.
Akhirnya, Persebaya Future Lab mohon restu kepada seluruh masyarakat sepak bola Surabaya. Kami mohon izin untuk terus membuat kekacauan-kekacauan baru di atas mulusnya rumput hijau Lapangan ABC di Kompleks GBT. Demi sepak bola Surabaya masadepan, mari Bercinta dengan kekacauan!
Ganesha Putera
Kepala Persebaya Future Lab