Tur Persebaya EPA di awal 2025 ke Maluku Utara menyisakan kisah reflektif penting. Bukan soal keindahan alam Maluku Utara yang aduhai itu. Bukan pula soal hasil pertandingan Persebaya EPA kontra Malut United. Tentu semua paham, skor sepak bola usia muda tidak relevan dengan pencapaian hasil pembinaan. Yakni, mencetak pemain ke Tim Utama.
Keindahan laut Maluku Utara yang bersahaja menemani perjalanan Persebaya Future Lab. Kesenyapan Tidore seolah membuat jarum jam berdetik pelan. Menciptakan ritme kondusif untuk diskusi sepak bola mendalam. Di pinggir lapangan sepak bola tak berumput, sambil menikmati Kopi Rempah Tidore, kami menyaksikan puluhan anak-anak, pemuda dan bapak-bapak lintas generasi berkolaborasi mengolah kulit bundar.
Seorang bocah mungil menggiring bola dengan trengginas. Seolah tak peduli, seberapa tua dan besar lawannya. Ia meliuk-liuk lincah melewati lawan. Sesekali, matanya melihat ke kanan, tapi kakinya mengarahkan umpan mematikan ke kiri. Bocah ini mengerti benar sepak bola bukan soal usia atau postur tubuh. Sepak bola adalah soal mencetak gol lebih banyak dari lawan.
Stadion Marimoi yang berada di bawah kaki Gunung Tidore, ratusan penonton turut menyaksikan laga Elite Pro Academy antara Malut United vs Persebaya. (Persebaya)
Kota Kelahiran Sepak bola
Decak kagum kami para punggawa Persebaya Future Lab pada bocah tadi berujung pada sebuah celetukan menggelitik. “Ternyata Maluku Utara berpenduduk 1 juta orang, menyumbangkan pemain untuk Persebaya sama banyaknya dengan Kota Surabaya berpenduduk 3 juta orang!”
Ya, ada 3 pemain kelahiran Maluku Utara di Tim Utama Persebaya, yaitu Ardi Idrus, Riswan Lauhin, dan Alfan Suaib. Setelah dicek, juga ada 3 pemain kelahiran Kota Surabaya di Tim Utama Persebaya, yaitu Malik Risaldi, Andhika Ramadhani, dan Toni Firmansyah.
Celetukan ini menggugah saya untuk melakukan riset lebih dalam. Berdasar data Transfermarkt, ada total 17 pemain kelahiran Maluku Utara yang beredar di Liga 1. Berbanding dengan total 8 pemain kelahiran Kota Surabaya yang ada di Liga 1. Setelah dikulik lebih mendalam, hasilnya lebih menyeramkan. Dari 17 pemain tersebut, 12 lahir di Ternate. Artinya kalau membandingkan apel dengan apel, Ternate dengan 200 ribu penduduk mampu memproduksi 12 pemain. Sedang, Surabaya dengan 3 juta penduduk hanya mampu produksi 8 pemain saja.
Bagaimana mungkin kota berpenduduk 200 ribu penduduk, dengan fasilitas lapangan pas-pasan dan kompetisi minim bisa sangat produktif menghasilkan pesepak bola profesional di Liga 1? Dari riset Transfermarkt, Ternate adalah kota front runner penghasil pesepak bola di Liga 1.
Birthplace Effect, Small Town Effect
Rasa penasaran ini membawa kami pada sebuah riset penting. Jean Cote, Profesor Kinesiologi dari Queen’s University, Ontario. Ia banyak melakukan riset kaitan faktor psikososial terhadap partisipasi dan performa olahraga. Ia melakukan telaah tempat lahir (birthplace) pada ribuan atlet profesional NHL, NBA, MLB, dan PGA.
Hasilnya mencengangkan, terdapat over-representation di kota berpenduduk 500 ribu ke bawah dan under-representation di kota berpenduduk 500 ribu ke atas. Seorang bocah pemain hoki akan memiliki peluang 18 kali lebih banyak menjadi pemain NHL bila lahir di kota kecil berpenduduk 500 ribu ke bawah.
Di publikasi tersebut, Cote merekomendasikan film dokumenter yang pas untuk mendeskripsikan birth place dan small town effect. Judulnya “The Hockey Miracle in the Middle of Nowhere”. Film itu bercerita tentang keajaiban Herning, kota mungil di Denmark dengan 50 ribu penduduk yang dalam satu dekade terakhir berhasil mencetak 5 pemain NHL.
Jumlah ini rupanya sangat fenomenal. Chicago berpenduduk 2,7 juta juga hanya menghasilkan 5 pemain NHL. Lalu, Detroit berpenduduk 600 ribu yang memproklamirkan diri sebagai “Hockey Town” hanya menghasilkan 4 pemain NHL. Anda bisa menikmati cerita lengkap film tersebut di Apple TV.
Dari publikasi Jean Cote dan film tersebut, saya coba menggaris bawahi dua faktor penting yang membuat kota liliput dapat mencetak atlet kelas dunia. Pertama, tidak ada deseleksi dini. Klub di kota kecil tidak terlalu divisional dan kompetitif. Ini memberi kesempatan bermain yang berujung pada motivasi intrinsik berolahraga yang terpelihara. “Anda sebenarnya tidak terlalu bagus, tapi Anda berpikir Anda bagus dan terus berlatih,” ujar Cote.
Di Toronto misalnya, sejak dini anak-anak sudah "terhakimi” dengan deseleksi dini. Sejak usia kecil, pemain sudah dihadapkan pada situasi terpilih atau tercoret. Padahal riset teknis membuktikan sangat sulit untuk mendeseleksi pemain terlalu dini. Frederik Anderson, Goaltender Toronto Maple Leaf terbaik sepanjang masa misalnya, ia tidak pernah dianggap berbakat di Herning saat berusia belasan. Ia baru mencapai skill level NHL-nya saat usia dua puluhan. Jika Anderson lahir di Toronto, mungkin ia sudah tercoret dari ekosistem dan berhenti bermain hoki.
Kedua adalah kedekatan emosional panutan. Cote menggunakan terminologi proximity. Sejak Frans Nielsen debut di NFL, ia membuka jalan bagi anak muda di Herning. Mereka kenal dengan Nielsen, tahu rumahnya, kenal keluarganya, bahkan sering bertemu di supermarket. Kedekatan ini memberi energi “kalau Nielsen yang tinggal beberapa blok dari rumahku bisa, akupun bisa,” seru Cote.
Di level klub, Herning Blue Fox juga merupakan klub semenjana. Pusat Latihan mereka mungil dan sederhana. Memungkinkan terjadinya banyak interaksi sosial antara pemain senior-junior. Mereka bertegur sapa setiap saat, dan tentunya pemain junior bisa melihat langsung gaya hidup top profesional para pemain senior. Sebuah kemewahan!
Pemain Persebaya U-20 Dirga Dwi mencoba melewati penjagaan pemain Malut Untied U-20. (Persebaya)
Pelajaran untuk Surabaya
Lalu, apa pelajaran yang bisa kita petik dari fakta Smalltown Effect? Tentu, Surabaya bukanlah Ternate. Jutaan penduduk Surabaya mungkin akan terus bertambah. Sekali kota besar tetap kota besar. Kita tidak berusaha mengubah Surabaya menjadi kota kecil. Melainkan kita perlu membangun ekosistem sepak bola Surabaya dengan memperhitungkan dua faktor sukses di atas. Ya, penundaan deseleksi dini dan kedekatan pada panutan.
Persebaya Future Lab perlu terus mengelola kolam talentanya dengan prinsip sebanyak-banyaknya dan selama-lamanya untuk menjadi sebaik-baiknya. Kita perlu menghindari pencoretan dini, penyematan label kualitas-tidak kualitas terlalu dini, karena sejatinya hal itu baru dapat kita lakukan setelah pemain menginjak usia lebih dewasa. Jadi libatkan partisipasi berlatih dan bermain sebanyak-banyaknya dan selama-lamanya. Pastikan pesepak bola usia muda kita tidak berhenti mencintai sepak bola.
Terakhir, kita mungkin perlu terus membangun kedekatan emosional dengan panutan. Memastikan bahwa adik-adik kecil di Surabaya “kenal dekat” dengan Malik, Andhika dan Toni. Menularkan terus semangat, “kalau Mas Malik, Cak Dhik dan Mas Toni bisa, aku juga bisa.” Ayo main sepak bola! Sebanyak-banyaknya, selama-lamanya, sebaik-baiknya!
Ganesha Putera
Kepala Persebaya Future Lab