Oleh: Ram Surahman
Suporter meninggal. Rasa iba bermunculan. Seiring itu, kecaman juga bertebaran. Terbaru, BOPI unjuk gigi dengan tak memberikan rekomendasi. Satu step lagi, bisa berujung penghentian kompetisi.
Deret kalimat di atas, rasanya bisa menggambarkan hiruk pikuk sepakbola Indonesia dalam dua hari ini. Ending dari semua ini, masih ditunggu; penghentian kompetisi atau turunnya sanksi. Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu.
Ya, semua patut prihatin dan iba dengan situasi saat ini. Nyawa kembali meregang atas nama sebuah tontonan bernama sepak bola. Tentu tak sepadan. Tapi nyatanya, korban jiwa kembali berjatuhan.
Tapi, haruskah ini terhenti pada rasa keprihatianan saja? Pengalaman sebelum ini menunjukkan seperti itu. Sebelum kejadian di Bandung, sudah berapa banyak nyawa yang hilang gara-gara urusan bola? Sama. Saat peristiwa itu terjadi, rasa iba meledak. Keprihatian dan kecaman bermunculan. Muncul reaksi sesaat dan semu. Lalu sepak bola kembali bisa dinikmati. Jalan lagi.
Tulisan ini tak berpretensi mendorong penghentian kompetisi. Lagu genit yang disuarakan nyaring saat ini. Penghentian kompetisi atau tidak, atau apapun putusan yang diambil, selagi bergerak dalam pendekatan kekuasaan hanya akan berakhir kesia-siaan. Ibarat sakit, hanya menghilangkan rasa nyerinya tanpa tuntas persoalannya.
Sudahlah. Meninggalnya pendukung Persija di Bandung, sejatinya bisa jadi momentum, menyadarkan para stakeholder sepak bola untuk lebih serius menata supporter. Sudah saatnya, pola pendekatan kekuasaan yang selama ini dipraktekkan, ditinggalkan. Lihatlah, selama ini, rekomendasi dan regulasi, selalu menjadi alat tekan dalam urusan ini. Pendekatan berlangsung searah. Dari atas ke bawah dengan titik tekan pada ancaman dan kekuasaaan.
BOPI dengan kekuasaan yang dimiliki, tak memberikan rekomendasi. Alasan normatif disorongkan; selama tak ada pembenahan serius dari federasi dan operator kompetisi.
PSSI dan operator kompetisi juga tak mau kalah gertaknya. Pada klub, dilampirkan sederet pasal-pasal regulasi dengan embel-embel sanksi. Enteng saja, jika dilanggar maka sanksinya sekian puluh juta.
Tentu saja, klub dan para pendukung yang paling menderita dari rantai ini. Mereka jadi obyek dari tontonan kekuasaan yang dipraktekkan secara telanjang. Klub harus memutar otak bagaimana bisa menjamin eksistensi tampil di kompetisi, sekaligus menjaga agar tak ada sanksi tambahan akibat ulah pendukungnya.
Sudahi pola ini. Klub dan suporter harus dirangkul, diberdayakan guna mengurai masalah yang ada saat ini. Mari dibuka topeng kepura-puraan. Sadarilah, ada yang salah dalam dunia suporter kita. Mereka sedang sakit. Fanatisme pada klub kesayangan, justru menumpulkan nilai-nilai kemanusiaan.
Emosi masa dengan mudah tersulut, dan ringan saja bertindak barbar dan primitif. Tak hanya di Bandung. Lihat suporter Persita, Sleman Fans, bahkan Bonek yang juga hilang nyawa akibat aksi barbar.
Ikhtiar edukatif harus terus menerus dilakukan pada seluruh suporter Indonesia agar makin membuka ruang penyadaran. Menekan enzim primitif dan menjadi lebih rasional. Ini tak bisa dibebankan pada klub semata. Perlu kehadiran BOPI, Federasi dan Operator Kompetisi dan para stakeholder sepakbola lainnya. Diberi pendampingan, bantuan finansial agar proses penyadaraan itu bisa berjalan simultan dan berkelanjutan. Itu obat mujarab yang diperlukan saat ini.
Para petinggi itu hadir secara riil, membantu mengurai masalah di bawah secara nyata. Bukan sekedar memberi titah dan lembar-lembar sanksi bernilai puluhan juta rupiah. Mari bergerak autentik jangan hanya sok syantik ! (*)
Tulisan ini adalah pandangan individu penulis, bukan sikap dan pandangan Persebaya.