Oleh: Ram Surahman
Pasti tak ada habisnya. Upaya merajut perdamaian antar suporter jika diukur dengan deret angka. Apalagi, jika merujuk pada jumlah korban yang meninggal, akibat berurusan dengan bola. Baik di dalam maupun di luar.
Bisa dikata, untuk urusan ini, Bonek paling menderita. Dikutip infografis di salah satu akun Facebook, sejak tahun 1993, jumlah pendukung Persebaya yang meninggal sebanyak 16 orang. Disusul Aremania 9 orang, Jakmania 7 orang, serta Bobotoh dan pendukung PSIS masing-masing 5 orang. Tak hanya klub, urusan mendukung Timnas pun berkorban nyawa sebanyak 4 orang.
Derita Bonek pun bertambah. Kendati paling banyak jatuh korban, simpati dan empati yang muncul biasa saja. Coverage media tak se-histeria sekarang ini. Sampai kompetisi dihentikan sementara. Padahal, jika diukur angka, ”mereka” sudah berapa?
Inilah yang kemudian menimbulkan rasa gusar, mengusik rasa kepekaan. Dimanakah KEADILAN berada saat Bonek menjadi korbannya? Atau karena sudah telanjur distigma sebagai Maling Gorengan, Gembel Jalanan, sehingga hilangnya nyawa Bonek dianggap biasa saja?
Tentu tak elok, urusan nyawa dibanding-bandingkan. Jangankan satu, setengah saja bila urusan dengan nyawa tetap tidak diperbolehkan. Dalam terminologi agama, menghilangkan satu nyawa, terbilang sebagai kejahatan kemanusiaan luar biasa. Menggoyang keseimbangan alam semesta.
Tapi, sudahlah. Tak perlu kita mendebat ketidakadilan yang bersumber stigma salah kaprah. Hanya akan menghasilkan debat berbusa tanpa makna. Serahkan semua itu pada-Nya. Biarkan, Bonek berkawan dengan Tuhan saja. Bekerja dalam diam dan menggali ladang-ladang kebaikan yang disayang Tuhan.
Bonek lah, suporter bola pertama di Indonesia yang miliki Panti Asuhan. Dipelopori teman-teman Bonek SKJ27, saat ini, Panti Asuhan Bonek yang terletak di Sukodono ini sudah dalam tahap pembangunan fisik.
Perwakilan dari Kapal Api memberi cendramata kepada salah seorang Bonek ketika peletakan batu pertama Panti Asuhan Bonek SKJ 27 beberapa waktu lalu (Persebaya)
Saat Lombok diguncang gempa, yang lain sibuk bermain Photoshop, mengukir ucapan duka secantik mungkin. Bonek memilih jalan sendiri. Bergerak langsung, menggalang dana, mengetuk kepedulian warga dan mengirimkan langsung ke korban gempa. Bergiliran Arek Bonek 1927, Green Nord, Tribun Kidul, dan Tribun Timur secara berkelanjutan memberi pendampingan di Lombok sana. Itulah jawaban manjur, membungkam mulut besar mereka yang men-cap Bonek dengan pandangan curiga dan nyinyir.
Tapi, toh stigma negatif tetaplah meluncur. Tak apa. Bukankah Tuhan mengajarkan, jalan kebaikan itu memang terjal dan mendaki? Kita jangan ciut nyali dengan kerja kebaikan ini. Berkawan dengan Tuhan memang butuh keberanian.
WANI mengakui salah dan memperbaiki diri untuk lebih baik lagi. WANI meninggalkan hal-hal negatif yang hanya merusak diri dan persaudaraan hakiki. WANI Tertib. WANI gak Rasis, dan wani-wani kebaikan lainnya. Ini memang tidak mudah.
Apalagi, masih juga ada segelintir oknum yang masih nyaman berkawan dengan setan. Membakar ilalang kala pertandingan kandang. Menebar ketakutan pada para pengguna jalan dan sederet aksi-aksi memuakkan lainnya.
Disitulah, indahnya berkawan dengan Tuhan. Selalu diselipkan tantangan-tantangan untuk ditaklukan. Untuk apa? Supaya kita naik kelas menuju KEDEWASAAN. Sebuah modal besar untuk merajut perdamaian yang saat ini banyak didengungkan dan diimpikan. Karena itu, semangat terus menebar kebaikan, jangan pernah padam. Tak peduli apa kata orang, yang terpenting kita bisa berkawan dan disayang Tuhan. (*)
Tulisan ini adalah pandangan individu penulis, bukan sikap dan pandangan Persebaya.