Paulinus Apli Kapi dikawal ketat oleh lima pemain Madura United U-20. (Persebaya)


“I-Phone falls to the floor, break the screen; Nokia falls to the floor, break the floor!”

Kalimat itu menjadi meme populer di masa kejayaan ponsel Nokia 3310. Dengan jumawa, Nokia 3310 berusaha menempatkan diri sebagai ponsel kuat, dengan baterai tahan lama. Buat generasi yang hidup di era kejayaan Nokia, tentu ingat betul kehebatan Nokia dan permainan ularnya yang bikin candu.

Saat itu, Nokia adalah perusahaan ponsel terbesar di dunia. Perusahaan Finlandia itu menguasai hampir separuh pasar pengguna telepon genggam dunia. Puncaknya di akhir 2007, mereka membukukkan 40,4% market share dunia. Alias dari 10 pengguna ponsel, 4 bermerek Nokia. 

Tragisnya, Nokia hanya membutuhkan beberapa tahun saja untuk kehilangan hampir 90% market valuenya. Di akhir pelepasan bisnis ponsel mereka ke Microsoft, Stephen Elop, CEO Nokia sambil menangis berucap, “We didn’t do anything wrong, somehow we lost!”

Super Kompensasi

Berbagai riset dan analisa dilakukan untuk mempelajari terjun bebasnya Nokia.  Rasmus Ankersen dalam bukunya “Hunger in Paradise” mengupas bahwa sumber kegagalan Nokia adalah pemikiran bos Nokia yang percaya “If ain’t broken, don’t fix it!”. Sedangkan di persaingan bisnis global, Anda perlu terus berinovasi dengan mentalitas “If ain’t broken, consider to breaking it!” Elop seharusnya berkata “we didn’t do anything wrong, that’s why we lost!”.

Saya sangat “klik” dengan analisa Ankersen ini, sebab sangat “relate” dengan teori latihan. Leo Metveyev memperkenalkan teori Super Kompensasi jelang partisipasi perdana Uni Soviet di Olimpiade Helsinki 1952. Inti teori Super Kompensasi adalah latihan harus bertujuan untuk merusak tubuh atlet hingga kepayahan. Lalu dengan pemulihan optimal, tubuh akan mendapat super kompensasi berupa kondisi tubuh lebih superior. Proses ini dilakukan terus menerus dari waktu ke waktu.

Jadi perkembangan atlet hanya akan terjadi saat pembina memiliki strategi untuk “selalu merusak” kondisi yang sudah baik. Hal ini bukan hanya menyasar otot, jantung dan sistim energi. Tetapi juga pada otak dan sistim berpikir. Otak dan pola pikir atlet harus selalu dirusak secara sistematis agar kemampuan otak atlet berpikir kompleks terus meningkat.

Pada olahraga beregu seperti Sepakbola, strategi merusak untuk berkembang ini juga harus dilakukan pada konteks tim. Sebab di sepakbola usia muda, tim adalah “alat” untuk cetak pemain hebat. Berbeda dengan sepakbola profesional, dimana pemain adalah “alat” untuk cetak tim hebat.

Prakteknya, merusak untuk berkembang ini bisa dilakukan dengan terus mengubah-ubah struktur formasi dan mengubah posisi dan peran pemain dalam tim. Itulah permintaan Johan Cryuff pada akademi La Masia saat menukangi Barcelona. Winger lemah bertahan, dipasang jadi fullback agar dapat repetisi momen bertahan. Centerback lamban alirkan bola, dipasang jadi gelandang. “Situasi lini tengah yang sempit dan tekanan tinggi akan rangsang untuk cepat alirkan bola,” pungkas Cruyff.

Roberto Martinez, pelatih Tim Nasional Portugal juga pernah berucap bahwa di sepakbola usia muda, pelatih harus mengajarkan taktik tim hingga pemain “hampir” nyaman. Setelah itu pelatih perlu mengubahnya untuk ciptakan ketidaknyamanan baru. “Ketika pemain merasa nyaman, maka ia akan berhenti belajar!” 

 

Menghindari Jebakan Nokia

Berbagai kisah inspiratif di atas terlihat enak untuk dibaca, tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Kita hidup di dunia serba instan, yang ingin mengejar hasil akhir semu secepat mungkin. Ketika tim usia muda kita bergerak menuju tren performa positif, besar godaan untuk terus memeliharanya menuju kemapanan.

Don’t change the winning team, don’t change the winning formation, don’t change players position, dan semua don’t change lainnya. Semua pola pikir ala Nokia yang pada akhirnya membawa kita menyimpang dari inti teori latihan itu sendiri. Merusak untuk mendapat super kompensasi!

Menyambung soal Teori Kekacauan di tulisan sebelumnya, saya ingin mengajak semua pihak untuk terus mengawal perkembangan pemain muda Persebaya. Saat ini Liga EPA mulai bergulir. Tegur kami saat pemain mulai matang di suatu posisi. Kritik habis saat kami tergoda untuk memelihara tim mapan. Serukan terus kekacauan agar pemain muda ini mendapat super kompensasi di masa mendatang.

Akhirnya, ijinkan saya mengutip motto Ekkono, mitra konsultan teknik Persebaya asal Spanyol yang di tiap akhir presentasinya selalu menuliskan kalimat, “When winning is not enough…” Jika semua baik-baik saja, pertimbangkan untuk merusaknya, karena menang saja tidaklah cukup. Selamat merusak!

Ganesha Putera
Kepala Persebaya Future Lab

Populer

Siapkan Banyak Strategi, Persebaya Percaya Diri Hadapi Persija
Persebaya U-13 Juara Piala Soeratin U-13 Zona Surabaya, U-15 Runner Up
Coach Paul: Liga 1 itu Marathon, Tapi Laga Klasik Krusial untuk Kami Menangkan
Rebut 6 Poin di Madura, Persebaya U-18 Jaga Peluang ke Delapan Besar
Alfredo Nararya, Pemain Persebaya U-16 yang Juga Jago Sains
Solid dan Kompak Sepanjang Pertandingan, Kunci Kemenangan Persebaya