Tulisan ini adalah serial bersambung. Baca tulisan sebelumnya di sini
“Spanyol menjuarai Piala Dunia. Kami (Belanda) yang mengajarinya!” - Han Berger, Komisaris KNVB
Kalimat tersebut keluar dari Han Berger beberapa bulan setelah Spanyol menjadi juara Piala Dunia 2010 mengalahkan Belanda lewat gol semata wayang Iniesta. Dalam perjumpaan dengan Han ketika itu, saya lalu balik bertanya “Lalu mengapa Spanyol yang menang?” Ia menjawab rileks, “kami mengajari mereka terlalu banyak!”
Jawaban Han yang terkesan arogan itu sangat khas Belanda. Buat orang Belanda itu bukan arogan, melainkan confident. Gaya bicara wong londo yang suka tembak langsung ini juga sering di-cap kurang ajar oleh orang Asia. Tidak ada maksud kurang ajar sebenarnya. Mereka menganggapnya sebagai kejujuran.
Ucapan Han tak mengada-ada. Memang Rinus Michels dan Johan Cryuff-lah yang memberi pengaruh besar pada pembinaan sepakbola di Spanyol hingga mereka dapat kuasai dunia. Itulah yang menjadi alasan Persebaya Future Lab menapakkan langkah selanjutnya ke Negeri Kincir Angin. Untuk belajar dari “guru”-nya sepakbola Spanyol.
Kognitif
Aksi sepakbola selalu dimulai dari komunikasi (melihat), pengambilan keputusan dan eksekusi (teknik). Kebetulan Jan Tamboer, juga dari Belanda yang menjadi pelopor dari Teori Sepakbola itu. Secara teoritis, banyak “pakar” sepakbola asing yang datang ke Indonesia selalu berkomentar, “pemain Indonesia berteknik hebat, tetapi lemah dalam pengambilan keputusan!”
Urusan lemah keputusan ini bikin penasaran. Dalam pemanduan bakat, lebih mudah melihat teknik pemain dan fisikalitasnya. Tetapi bagaimana memetakan kognitif pemain sehingga bisa dinilai kemampuan pengambilan keputusannya? Persebaya Future Lab pun berlabuh ke Brainsfirst.
Lebih dari sedekade lalu, Ilja Sligte dan Andres van der Lein, dua ilmuwan Neuroscience sedang mengerjakan riset Doktoral. Mereka memiliki pertanyaan besar, “apakah skor pada fungsi kognitif, dapat memprediksi performa seseorang pada level tertentu?” Salah satunya mereka memakai fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) untuk melihat aktivitas otak dalam merespon berbagai stimulus.
Jawaban baru ditemukan setelah keduanya bertemu Eric Castien, seorang jurnalis yang penasaran dengan pengembangan bakat. Ketiganya menyepakati bahwa human performance harus dibangun berasas kontruksi biologis, ketimbang psikologis. Inilah cikal bakal kelahiran Brainsfirst.
Game Neurolympic: Asesmen Kognitif untuk Pemain
Profil Otak Pesepakbola
Brainsfirst mengkombinasikan keilmuan neuroscience dengan machine learning untuk membuat suatu platform bernama Neurolympics. Sebuah model asesmen berbasis permainan komputer yang mampu membuat profil komprehensif terhadap performa otak dari pesepakbola.
Saya mencoba tes seperti video game ini. Beberapa item tes intinya memotret kemampuan Attention, Control, Anticipation dan Working Memory. Dari aspek tersebut, tergambar kemampuan otak pemain misal dalam kecepatan respon dan olah informasi sebelum ambil keputusan. Skor saya tinggi di item memori visual, tapi buruk di kecepatan respon. Itulah kenapa saya lebih baik di pinggir lapangan, ketimbang di dalamnya.
Hasil tes Neurolympic bisa menjadi referensi terkait kapasitas performa otak pemain. Info ini bisa dipakai misal untuk menyeleksi bakat, atau menentukan posisi bermain. Seorang gelandang yang harus melihat 360 derajat wajib memiliki skor tinggi di item memori visual ketimbang seorang sayap misalnya. Anda bisa mencoba tes versi demo di sini
Saat ini banyak akademi top Eropa menggunakan jasa BrainsFirst. Sebut AZ Alkmaar, PSV Eindhoven, Real Sociedad, Nottingham Forest, Sevilla, Entracht Frankfurt, dst. AZ Alkmaar menjadi cerita yang paling fenomenal dengan 9 pemain binaan sendiri menjadi Starting 11 kontra Fenerbache di Europa League. Diantaranya ada Kees Smit yang baru berusia 18 tahun, tetapi telah mencetak 8 gol dari 12 penampilan.
Sejak di akademi, pemain seperti Kees Smit, Dave Kwakman atau Ro-Zangelo Daal secara rutin mengikuti tes Neurolympics untuk dipantau performa kognitifnya. Pasca tes, dipadu dengan data lainnya, tim pelatih kemudian mengevaluasi program. “Komitmen kami adalah pada pengembangan pemain berbasis multi data,” seru Jerome Peetom, Kepala Pengembangan Performa AZ Alkmaar.
Sungguh pengalaman unik menengok “guru sepakbola” membedah otak pesepakbola!!
-bersambung-