Hari itu mereka
bermain dengan sungguh-sungguh, bermain dengan semangat dan tujuan
yang sama. Namun hari itu juga mereka mendapati kenyataan bahwa dalam
pertandingan, hasil akhir belum tentu sejalan dengan kemauan dan
semangat yang ada. Ada aspek-aspek lain yang menyertai. Dan hari itu,
aspek lain tersebut lah yang mengendalikan pertandingan..
Ini bukan soal menang dan kalah, tapi lebih dari itu. Olahraga adalah sebuah pemaknaan hidup, terlebih dalam sepakbola. Vitor Frankl menjelaskan bahwa makna hidup adalah suatu kualitas penghayatan individu terhadap apa yang telah dilakukan sebagai upaya mengaktualisasikan potensinya, merealisasikan nilai-nilai dan tujuan melalui kehidupan yang penuh kreativitas dalam rangka pemenuhan diri (self fulfillment). Nah, di dalam sepakbola, setiap pemain memiliki dorongan untuk mengaktualisasikan kemampuan mengolah bola yang dimiliki, tampil membela tim di lapangan, dan ketika hal tersebut terhambat, maka ia akan merasa dirinya tidak ‘penuh’ (inilah mengapa banyak pemain sangat mendambakan menit bermain yang layak).
Bermain sepakbola adalah seni rasa. Para pemain setiap hari berlatih, menguatkan teknik, fisik, menyatukan visi bermain dalam latihan taktik, mencari celah untuk dimaksimalkan menjadi kemenangan dengan menambah detil-detil latihan yang spesifik. Mudah? Jelas tidak!
Mereka berkorban waktu, pikiran, dan tenaga untuk mencapai self fulfilment tadi. Mereka ingin memenuhi keinginan dalam diri untuk menang, bermain untuk menjadi juara. Tidak ada pemain yang tidak menginginkan hal itu. Tidak ada pemain yang hanya menginginkan bermain sepakbola sekedarnya. Bukankah dalam pekerjaan, kita semua juga selalu menginginkan peningkatan karir? Lalu apakah dalam mencapai tujuannya kita selalu sukses? Tentu tidak. Aspek inilah yang harus dipahami sebagai nilai rasa dalam sepakbola.
Iklim dan kultur sepakbola kita sedang diuji. Betul-betul diuji. Dinamika pertandingan yang melibatkan pemain dengan pemain, pemain dengan perangkat pertandingan, dan pemain dengan supporter sedang dalam tensi yang naik-turun dengan tajam. Belum lagi ditambah situasi lain yang menyertai dinamika di dalam lapangan. Semua merujuk pada satu arah: EMPATI. Secara Bahasa, empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Empati berbeda dengan memaklumi. Empati berarti kita ikut merasakan apa yang dirasakan. Bisa merasakan kesedihan saat orang lain sedih. Bisa ikut merasakan bahagia saat orang lain senang. Selaras dalam empati akan membuat kinerja lingkungan menjadi solid dan kaya akan pikiran positif. Dan pikiran positif adalah kunci keberhasilan.
Nilai rasa dalam sepakbola akan mengembalikan tujuan awal dari permainan Sepakbola itu sendiri: bermain, berkompetisi, dan belajar akan hidup.
Maju terus Sepakbola Indonesia. Salam satu nyali, wani! (*)